Nuklir Bukan Solusi Bagi Persoalan Energi dan Lingkungan
Pertumbuhan kebutuhan energi, menipisnya cadangan energi fosil, dan dampak lingkungan yang diakibatkan energi fosil adalah beberapa alasan yang dijadikan oleh kalangan pendukung energi nuklir sebagai sumber listrik menggantikan bahan bakar fosil. Adanya upaya untuk menggantikan energi fosil (batu bara, minyak, gas) adalah sebuah kebijakan yang layak diapresiasi. Namun, kontribusi energi terbarukan di dalam kebijakan energi nasional masih sangat kecil. Dan nuklir bukanlah solusi yang tepat untuk menjawab persoalan tersebut.
PLTN makin tidak menarik di pasar internasional
Nuklir bukan sumber daya energi yang murah. Teknologi reaktor dan persediaan uranium yang tidak banyak dan uranium yang dekat dengan permukaan akan cepat menyusut seiring dengan peningkatan jumlah listrik tenaga nuklir, sehingga akan makin membutuhkan biaya yang makin tinggi.
Nuklir bukan merupakan energi terbarukan, dan cadangan uranium di alam akan menyusut, sama halnya dengan energi fosil.
Uranium yang ongkos produksinya rendah karena dekat dengan permukaan adalah terbatas, dan akan habis dalam 50 tahun dengan tingkat konsumsi sekarang. Perkiraan total cadangan uranium konvensional hanya akan mencukupi untuk produksi 200 tahun dengan tingkat konsumsi sekarang (Nuclear Agency 2004). Cadangan tersebut akan lebih cepat berkurang jika terjadi ekspansi penggunaan nuklir.
Keseluruhan biaya energi dari sumber terbarukan menurun dalam 10 tahun terakhir: biaya per kWh listrik dari turbin angin turun 50%, dari sel tenaga surya (photovoltaic) turun 30%. Biaya dari energi dari sumber terbarukan akan makin rendah seiring dengan makin banyaknya penelitian dan pengalaman yang diperoleh (NEA, 2001).
Kecenderungan skala dunia, terjadi penurusan listrik dengan pembangkit tenaga nuklir, sementara sumber energi terbarukan mengalami peningkatan. Kapasitas listrik bertenaga nuklir akan turun 25% dalam 15 tahun mendatang. Pertumbuhan di Cina dan India tidak akan mengubah gambaran global tersebut (FoE 2005).
Sampai saat ini, industri nuklir mendapatkan dukungan dana dari negara negara dunia sekitar US$ 1 trilyun, sementara untuk keseluruhan energi terbarukan mendapatkan US$50 milyar (Scheer, 2004). Jika investasi besar dilakukan ke dalam bidang sumber energi terbarukan, sumber-sumber energi tersebut akan melimpah. Karena listrik tenaga nuklir hanya sementara, dan parsial sumbangannya terhadap emisi gas rumah kaca, maka investasi pada sumber energi terbarukan akan lebih bersahabat terhadap lingkungan dan memberikan manfaat yang lebih besar.
Dampak terhadap Lingkungan
Para pendukung listrik tenaga nuklir berpendapat bahwa limbah radioaktif bukan sebuah persoalan besar karena jumlahnya yang kecil. Kendati hal tersebut benar dibanding dengan pembangkit yang meggunakan bahan bakar batu bara, jumlahnya masih besar selama proses berlangsung. Sebanyak 1000 ton bahan bakar uranium akan menghasilkan 100.000 tailing dan 3,5 juta liter limbah cair (Cunningham, et al 2003). Namun problem utama bagi limbah nuklir adalah radioaktif yang berbahaya yang terus bertahan selama 240,000 tahun atau lebih (Greenpeace, 2004). Biaya pemantauan lingkungan yang demikian lama adalah sangat tinggi dan beberapa generasi dari ribuan tahun mendatang harus membayar demi pemenuhan listrik untuk generasi kita sekarang.
Penelitian yang dilakukan untuk mengurangi waktu peluruhan limbah nuklir, proses transmutasi, dengan optimis digambarkan sebagai solusi. Limbah nuklir mengandung mengandung berbagai tipe isotop radioaktif, yang harus dipisahkan dan di transmutasi secara terpisah untuk mengurangi waktu peluruhannya. Hal tersebut adalah tidak mungkin karena tidak semua isotop dapat dipisahkan, sampai saat ini hanya plutonium dan uranium yang bisa dipisah pada pemrosesan kembali (WISE, 1998). Solusi membuang limbah ke laut yang dalam adalah tidak bisa dibenarkan, karena suatu sistem tidak ada yang statis dalam skala waktu tertentu.
Indonesia negeri rawan bencana alam
Indonesia terletak disepanjang jajaran gunung api yang dikenal dengan ring of fire, membentang dari ujung Sumatra, Jawa, Bali – Nusa tenggara, Sulawesi dan Kepulauan Maluku dan berada di pertemuan tiga lempeng bumi membuat wilayahnya secara alamiah rawan bencana gempa dan tsunami. Gempa bumi berkekuatan 7 SR yang berpusat di 75 kilometer Barat Laut Indramayu yang terjadi pada tanggal 9 Agustus 2007 memperkuat argumentasi kalangan yang menolak nuklir, bahwa bahwa bagian utara Pulau Jawa bukan daerah yang aman dari faktor seismik maupun vulkanik. Gempa sampai saat ini adalah sebuah fenomena alam yang sulit untuk diprediksi secara pasti kapan terjadi dan skala kekuatannya. Fasilitas PLTN Jepang di milik Tokyo Electrik Power Co,s (TEPCO) di Niigata dirancang untuk mampu menahan kekuatan gempa pada skala 6 SR, namun terjadi gempa berkekuatan 6,8 SR pada tanggal 16 Juli 2007 menimbulkan percikan api di salah satu unit penyaluran listrik dan menyebabkan kebocoran air yang mengandung radioaktif dari salah satu pembangkit listrik bertenaga nuklir.
Tidak mampu menghentikan efek pemanasan global
Nuklir tidak bisa diharapkan sebagai energi alternatif untuk mengurangi gas ruma kaca yang menyebabkan pemanasan global. Emisi gas rumah kaca disebabkan pada rantai proses tenaga nuklir, terjadi mulai dari pertambangan uranium, pengayaan, transportasi dan konstruksi. Hasilnya, secara langsung atau tidak langsung, per kWh listrik yang diproduksi mengeluarkan 73 hingga 230 gram CO2 yang diproduksi (WISE, Februari 2005). Emisi CO2 akan terus bertambang seiring dengan makin menipisnya sumber uranium dan penambangan yang makin dalam ke perut bumi, membuat tingkat emisi CO2 setara atau lebih dengan stasiun berbahan bakar batu bara (Pace University , 1990).
Berbagai studi yang dilakukan tentang kemungkinan pembangkit bertenaga nuklir untuk menggantikan pembangkit menggunakan bahan fosil, diantaranya Massachusetts Institute of Technology “The Future of Nuclear Power” memproyeksikan skenario pertumbuhan global sebanyak 1500 buah reaktor berdaya 1000 Mwe agar bisa menghilangkan secara signifikan karbon yang dikeluarkan pembangkit yang menggunakan tenaga fosil; skenario IAEA dimana 70% listrik dari tenaga nuklir dengan rata-rata pertambahan 115 stasiun pembangkit per tahun berkapasitas 1000 MW, perkiraan International Panel on Climate Change yang menganjurkan 1000 reaktors dibutuhkan di Eropa sendiri pada 2100, sebanyak enam kali lipat dari sekarang. Rata-rata waktu konstruksi reaktor tenaga nuklir sekarang adalah 10 tahun. Membangun 115 stasiun per tahun hanya mengurangi CO2 16%. Ini adalah sebuah skenario pertumbuhan tinggi namun tidak memadai untuk mengurangi tingkat emisi CO2, scenario, sebagaimana disyaratkan oleh Protokol Kyoto untuk memangkas tingkat emisi CO2 menjadi 5,2 persend di bawah tingkat 1990 dalam rentang waktu 2008-2012.
Juru bicara IAEA mengakui bahwa “tenaga nuklir tidak mampu menghentikan perubahan iklim”, bahkan dalam skenario yang paling baik (Independent 2004).
Perancis yang 75% pada tahun 2003, sumber energi listriknya berasal dari tenaga nuklir, oleh pendukung tenaga nuklir dijadikan sebagai contoh yang berhasil dalam mengurangi emisi CO2. Namun, emisi gas rumah kaca Perancis masih terus bertambah pada tahun 2000. Sebagian besar diakibatkan oleh sektor transportasi. Melalui sebuah studi, Government Central Planning Agency Perancis menyatakan tidak ada korelasi yang nyata antara emisi CO2 dengan listrik tenaga nuklir (WISE Februari 2005).
Referensi:
Cunningham, W.P., Cunningham, M.A. & Saigo, B.W. (2003) Environmental Science. A Global Concern. New York: McGraw Hill.
Greenpeace (2004) Kernenergie - kernwapens,
www.greenpeace.nl/campaigns/intro?campaign_id=4537#B2, 22 Oktober 2004.
The Independent Inggris, 27 Juni 2004
NEA (2001) Activities on Climate Technology: Inventory for Nuclear Generation.
http://www.nea.fr/html/ndd/climate/acting.html cited, 12 Oktober 2004.
Nuclear Energy Agency and International Atomic Energy Agency, 2004, “Uranium 2003: Resources, Production and Demand”. Paris: OECD.
Pace University Center for Environmental Legal Studies, The Cost of Electricity, Nuclear Power Damages, 1990
Scheer, H. (2004) Nuclear Energy Belongs in the Technology Museum. WRCE Update September 19 2004,
http://www.world-council-for-renewable-energy.org/downloads/WCRE_Update_190904.pdf, 22 Oktober 2004.
WISE Februari 2005, Nuclear Power: No solution to climate change, Februari 2005
WISE 1998, Partitioning and transmutation: a hype. In: WISE News Communiqué 503. 4 Desember 1998.
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:
Pius Ginting
Officer Pengkampanye Tambang dan Energi WALHI
Email Pius Ginting
Telepon kantor: +62-(0)21-791 93 363
Mobile:
Fax: +62-(0)21-794 1673
Read More...!