Sosialisasi PLTN ala Pejabat BATAN dalam Dialog Publik PCNU Jepara
Jakarta- “Saya sudah mulai melihat titik temunya antara kalangan yang pro dan kontra. Jangan meluaskan informasi ini kepada orang-orang awam. Orang yang tidak paham nanti menangkapnya lain. Cukup hal ini kita bahas di antara kita saja”, demikian pertanyataan Hudi Hastowo, Kepala Badan Tenaga Nuklir, saat menjelang akhir acara dialog publik “PLTN Muria dalam Perspektif Fiqh”, di Jepara (1/9). Seharusnya Hudi adalah salah satu pembicara di dalam acara tersebut, namun perannya digantikan oleh pejabat BATAN lainnya. Setelah acara mendekati usai, sekonyong-konyong dia tampil dengan pertanyaan tersebut.
Salah satu tujuan dialog publik tersebut adalah untuk memberi bahan masukan kepada ulama NU se-Jawa Tengah dalam membahas PLTN secara fiqh.
Sejak diskusi dimulai sekitar pukul 12.30, pertentangan antara kelompok yang pro dan kontra kontra begitu tajam, masing-masing mengungkapkan argumentasi dan data. Dari kalangan promotor PLTN PLTN, Evita H. Legowo (DESDM) menyatakan PLTN dibutuhkan untuk mengurangi ketergantungan energi nasional dari sumber sumber fosil dan, juga sumber energi nuklir berbiaya murah; pihak BATAN menyatakan negeri maju seperti Jepang yang rawan gempa mengandalkan energinya dari nuklir, dan serahkan saja persoalan PLTN kepada lembaga yang berkompeten memberikan penilaian, dalam hal ini adalah IAEA, dan rakyat tidak perlu berdemonstrasi; Sukwarman Aminjoyo (BAPETEN) mengungkapkan pembangunan PLTN akan melalui sejumlah persyaratan dan perijinan serta diawasi ketat.
Dari kalangan kontra, Iwan Kurniawan (perspektif fisika nuklir) menyatakan PLTN bukan sumber energi yang murah dan penanganan limbah PLTN membutuhkan waktu yang sangat lama (8 generasi manusia); Budi Widianarko (Guru Besar Toksikologi Lingkungan, Unika Soegijapranata) menyatakan PLTN dari hulu hingga hilir berpotensi menghasilkan limbah dan resiko pencemaran yang luas; Benny D Setianto (Pengajar Hukum di Unika Soegijapranata) mengungkapkan UU Ketenaganukliran banyak membebaskan pengusaha PLTN dari tanggung-jawab, seperti dalam kejadian kerusakan yang diakibatkan oleh (1) pihak ketiga, (2) akibat langsung dari pertikaian maupun konflik bersenjata dan (3) bencana alam. Besaran ganti rugi maksimalpun ditetapkan sebanyak 900 milyar rupiah. Jika kita buat perbandingan dengan biaya ganti nyawa yang dibayarkan oleh Adam-Air dalam kecelakaan pesawat terbang jatuh beberapa bulan lalu, maka biaya tersebut hanya bisa menalangi 1.800 jiwa. Padahal, penduduk sekitar lokasi tapak rencana PLTN didirikan, desa Balong, Kabupaten Jepara, yang melakukan pawai obor sejauh 30 km dari desanya, semalam sebelum diskusi ini diadakan, berjumlah 4000 orang. Dan dampak kecelakaan pesawat terbang jatuh tentunya lebih luas dan terasa dalam rentang waktu yang sangat panjang.
George Joenoes Aditjondro (Pengajar Program Studi Ilmu, Reliji, dan Budaya, Universitas Sanata Dharma) menyatakan pihak pemodal Indonesia, dalam hal ini Medco Energi Internasional, adalah pihak yang sangat berkepentingan agar proyek PLTN Muria dimuluskan. Arifin Panigoro yang dekat dengan banyak presiden yang berkuasa di Indonesia (Suharto-Megawati-SBY) telah menandatangani persetujuan dengan perusahaan pengelola PLTN di Korea Selatan saat menemani SBY dalam kunjungan kenegaraan ke negeri tersebut. George menerangkan perekonomian nelayan di sekitar Semenanjung Muria berada dalam keadaan bahaya akibat polusi air panas yang dihasilkan oleh PLTN.
Di sela-sela diskusi, Kaum Muda Nahdatul Ulama (KMNU) yang terdiri dari PMII Jepara, BEM YAPTINU, Aliansi Pergerakan Mahasiswa NU, Gabungan Buruh Muda NU membagi-bagikan pernyataan sikapnya, yang menyatakan salah satu alasan mengapa pemerintah membangun PLTN di Jepara karena menganggap daerah tersebut paling aman dari bencana bumi, dan ketika terjadi gempa di Jogja pada Mei 2006, goncangannya juga terjadi di Jeparan. Mereka “menolak Pembangunan PLTN dan menyatakan musuh kepada pihak-pihak yang menerima.”
Kembali ke pernyataan Hudi Hastowo di atas. Kalangan hadirin merasa tersudutkan dengan pertanyataannya. Lilo Sunaryo dari Marem, yang hadir pada acara tersebut mengajukan keberatan, termasuk dengan pernyataan Menristek Kusmayanto Kadiman, yang berbicara sebelum diskusi tentang PLTN Muria membuat daerah tersebut memiliki sesuatu yang bisa dijual dan dari PLTN bisa didapatkan dana dari negeri maju dalam pertemuan perubahan iklim di Bali. “Daerah kami bukan untuk barang jualan,” protesnya. Hudi Hastowo akhirnya terpaksa menyatakan maaf ke hadirin atas pernyataannnya bahwa orang-orang yang hadir di forum tersebut tidak paham akan nuklir. Setidaknya, bahan tentang bahaya radioaktif begitu banyak tersedia di internet, dan organisasi lingkungan seperti Walhi Jawa Tengah, Green Peace serta organisasi mahasiswa juga melakukan sosialisasi ke kelompok masyarakat, khususnya yang berada di sekitar lokasi rencana PLTN didirikan.
“Pejabat lama tidak paham konsep partisipasi”, celetuk Budi Widianarko, ketika acara diskusi telah selesai."
Alim Ulama Putuskan: PLTN Muria Hukumnya Haram
Pro-Kontra mengenai rencana pemerintah hendak membangun PLTN Muria di Ujung Lemah Abang Balong, mendorong Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jepara bekerjasama dengan Lajnah Bahtsul Masail (LBM) Jawa Tengah, mengadakan mubahatsah (pembahasan), dengan melihatnya dari kacamata fikih. Rencana ini dipandang dari sisi kepentingan masyarakat Jepara secara khusus, sebagai sebuah masalah waqi’iyyah atau masalah yang terjadi dalam konteks lokal Jepara dan sekitarnya.
Para Ulama merumuskan beberapa masalah utama, yaitu:
Apakah dari perspektif fiqh, PLTN Muria merupakan proyek maslahah atau mafsadah?
Jika maslahah, bagaimana proyek tersebut dijalankan? Sebaliknya, jika mafsadah, siapa yang berkewajiban menghentikan dan bagaimana caranya?
Siapa yang bertanggung jawab terhadap keselamatan warga, terhadap seluruh dampak PLTN MURIA?
Masalah PLTN MURIA ini tidak hanya menyangkut masalah energi, tapi juga melibatkan aspek lingkungan, ekologi, sosial, politik dan ekonomi. Sebagai agama yang syaamil (meliputi berbagai aspek kehidupan) dan kaamil (sempurna secara keseluruhan), Islam diharapkan mampu memberikan jawaban mengenai PLTN Muria melalui penelusuran norma-norma Islam, baik dalam bentuk prinsip dasar maupun operasional, baik yang terdapat dalam nash maupun pengalaman historis masyarakat Islam, agar penanganan masalah PLTN Muria tetap mengacu kepada fitrah kemanusiaan.
Untuk meneropong masalah PLTN Muria dengan kompleksitas persoalannya, prinsip yang menjadi acuan adalah menegakkan kemaslahatan dan menghindarkan kemafsadatan. Dari prinsip ini, maka kebijakan yang menyangkut tentang hajat hidup umat, baik yang dlaruriyyat (kebutuhan primer), hajiyyat (kebutuhan sekunder) maupun tahsiniyyat (kebutuhan tersier atau kemewahan) harus mengakomodir tiga domain utama, yakni (1) domain tata kehidupan; (2) domain pemenuhan kebutuhan; dan (3) domain kesesuaian dengan syari'ah.
Maslahat dan mafsadah dalam konteks ini, yang menjadi acuan hukum adalah yang muhaqqaqah atau nyata, bukan yang mauhumah atau hanya praduga.
Setelah mempertimbangkan berbagai argumentasi dari para pakar, baik yang pro maupun kontra, dan dengan berpegang teguh pada ajaran ahlussunnah wal jama’ah, prinsip tawassuth, i’tidal, tasamuh, tawazun, al-shidqu, al-amanah, dan al-wafa-u bil al-‘ahd, maka forum mubahasah memutuskan:
(1) Pembangunan PLTN Muria HARAM HUKUMnya, dengan pertimbangan:
-Proyek PLTN Muria mengandung aspek maslahah dan mafsadah. Kemaslahatan PLTN diperkirakan mampu menyuplai kebutuhan energi nasional sebesar 2-4%. Sedangkan aspek mafsadahnya karena proyek PLTN pasti menghasilkaan limbah radioaktif yang diyakini mafsadahnya dan diragukan kemampuan pengamanannya. Dengan demikian, maka prinsip menghindari mafsadah harus didahulukan, sesuai dengan kaidah: dar’u al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih.
- Kewajiban pemerintah adalah menjamin ketenteraman warganya dengan melaksanakan pembangunan infrastruktur dan suprastruktur yang membawa kemaslahatan sesuai dengan derajat kepentingan yang dihadapi warganya, sesuai dengan kaidah: tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuth bi al-maslahah.
- Proyek PLTN Muria nyata-nyata menimbulkan keresahan warga (tarwi’ al-muslimin), yang disebabkan oleh kompleksitas persoalan lingkungan, politik, ekonomi dan faktor lain yang mengiringi PLTN Muria.
(2) Yang berkewajiban menghentikan adalah pemerintah dan seluruh warga mayarakat, sesuai dengan porsi masing-masing.
Catatan:
Keputusan ini berlaku hanya untuk proyek PLTN Muria dalam konteks lokal Jepara dan sekitarnya.
Keputusan ini mengasumsikan masih ada sumber energi lain yang masih bisa dieksplorasi.
Jepara, 2 September 2007
KH Kholilurrohman
Ketua TIM Perumus
KH Ahmad Roziqin
Sekretaris TIM Perumus
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:
Torry Kuswardono
Pengkampanye Tambang dan Energi
Email Torry Kuswardono
Telepon kantor: +62-(0)21-791 93 363
Mobile:
Fax: +62-(0)21-794 1673
Read More...!