Gempa di Laut Jawa; Memastikan PLTN Tidak Layak Dibangun
Jakarta 16 Agustus. Gempa bumi yang terjadi di sekitar laut Jawa Kamis (9/8) dinihari dengan kekuatan 7 skala richter memastikan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir semakin tidak layak dibangun. Laut Jawa dan kawasan pantai utara Jawa, yang selama ini dinilai tidak memiliki risiko gempa bumi, hari Kamis, 9 Agustus lalu menunjukkan fenomena sebaliknya. Bisa dikatakan, wilayah di sepanjang Pantai Utara Jawa mengalami keberuntungan karena gempa terjadi pada kedalaman dibawah 300 km sehingga tidak mengalami kerusakan berarti.
Rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Semenanjung Muria, Jawa Tengah, akan menambah risiko bencana karena hampir tidak ada wilayah di Indonesia yang tidak memiliki risiko gempa bumi. Insiden kecelakaan lepasnya radiasi nuklir di PLTN Kashizawaki-Kariwa Jepang yang terjadi bulan Juli lalu, mengajarkan bahwa tidak ada satupun desain PLTN dapat mengatasi fenomena alam seperti gempa bumi. Gempa yang terjadi itu berkisar pada 6.8 skala Richter menyebabkan 63 masalah dengan PLTN tersebut, 15 diantaranya terkait radioaktifitas, dimana terdapat 6 kasus kebocoran material radioaktif ke lingkungan dari PLTN terbesar di Jepang tersebut. Besaran gempa ini tidak pernah diantisipasi sebelumnya oleh para perancang PLTN Kashizawaki-Kariwa, yang dimiliki oleh Tokyo Electric Power Corporation (TEPCO).
Gempa yang menghantam PLTN di kawasan di Niigata Prefecture tersebut mengakibatkan kebocoran pipa yang menyebabkan lepasnya sejumlah gas radioaktif ke atmosfer dan limbah radioaktif ke badan air. Keberuntungan terhindar dari bencana akibat kebocoran radiasi yang lebih besar dapat dihindari karena sebagian besar reaktor nuklir dalam kompleks tersebut sedang tidak dioperasikan (shut down) karena sedang menjalani inspeksi dari badan keselamatan nuklir Jepang akibat pemalsuan data keselamatan reaktor PLTN oleh TEPCO, beberapa waktu sebelumnya. Jika tidak, bencana yang lebih besar akan terjadi yang dapat berdampak pada skala regonal.
Hingga kini tidak ada teknologi yang mampu meramalkan terjadinya gempa bumi. Kecelakaan PLTN akibat gempa bumi di Jepang membuktikan hal tersebut. Padahal Jepang selalu dianggap sebagai negara maju yang mampu mengantisipasi risiko gempa bumi. Pelajaran dari kasus gempa yang mengakibatkan insiden di PLTN Kashizawaki-Kariwa adalah sangat sukar menentukan standar keselamatan PLTN akibat gempa bumi. Pembangunan PLTN untuk mengantisipasi gempa bumi yang lebih tinggi akan memakan biaya yang sangat mahal, sekaligus membuat PLTN tersebut tidak ekonomis untuk dibangun, tetapi tidak ada jaminan bahwa PLTN akan aman sepenuhnya dari ancaman bencana karena gempa bumi,
Selain itu, di dalam UU no. 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, secara tersirat pemerintah mengakui adanya kemungkinan kecelakaan PLTN akibat bencana alam seperti gempa bumi. Sayangnya, pemerintah justru mengabaikan kepentingan publik dan sebaliknya melindungi kepentingan industri nuklir. Pasal 32 menyatakan bahwa pemilik PLTN dibebaskan dari segala macam tanggung jawab terhadap kerugian nuklir yang diderita pihak ketiga akibat bencana alam dengan tingkat luar biasa yang melampaui batas rancangan persyaratan keselamatan yang ditetapkan oleh pemerintah. Dengan demikian, jika sebuah PLTN di Indonesia mengakibatkan kerugian nuklir pada masyarakat setelah terjadi gempa bumi yang ‘tingkatnya luar biasa’, maka masyarakat tersebut tidak dapat meminta pertanggungjawaban siapapun dan harus menanggung sendiri kerugian tersebut. Karena hal ini dijamin oleh UU, maka dapat disimpulkan bahwa ketentuan ini bahkan jauh lebih buruk daripada penanganan bencana lumpur Lapindo yang sebenarnya sudah sangat menyengsarakan masyarakat itu.
Oleh karena itu, sejumlah organisasi non pemerintah dan ormas, Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI), Greenpeace Indonesia, IESR, Marem Jawa Tengah, MANUSIA, Institute for Global Justice (IGJ), dan Sarekat Hijau Indonesia mendesak agar rencana pembangunan PLTN di Indonesia dibatalkan. Tidak hanya karena ancaman bahaya PLTN terhadap publik adalah sesuatu yang nyata, tetapi juga karena adanya pengkhianatan pemerintah terhadap kepentingan rakyat yang terancam bahaya tersebut. Risiko terjadinya gempa bumi adalah sesuatu yang tidak bisa diramalkan, terutama setelah kejadian gempa bumi di Laut Jawa dan Jepang. Kalangan ornop dan ormas menilai pembangunan PLTN akan menambah risiko bencana lingkungan bagi Indonesia, khususnya penduduk Pulau Jawa yang adalah salah satu pulau terpadat di dunia, dan juga risiko bencana ekologis pada tingkat regional.
Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:
Torry Kuswardono-WALHI, HP: 0811-383270
Nurhidayati-Greenpeace Indonesia, HP: 0812-9972642
Fabby Tumiwa - Institute for Essential Services Reform, HP: 0811 949 759
Dr. Lilo Sunaryo - MAREM Jawa Tengah
Dian Abraham – MANUSIA, HP: 0815-9487094
Bonnie Setiawan – Institute for Global Justice
Andreas Iswinarto – Sarekat Hijau Indonesia
Lampiran:
Peta Patahan di Laut Jawa dan P. Jawa
(sumber: http://rovicky.files.wordpress.com/2006/07/patahan-patahan-di-jawa.jpg)
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:
Torry Kuswardono
Pengkampanye Tambang dan Energi
Email Torry Kuswardono
Telepon kantor: +62-(0)21-791 93 363
Mobile:
Fax: +62-(0)21-794 1673
__________________________________________________________
Siaran Pers Bersama
WALHI-IESR-MAREM-MANUSIA-IGJ-SHI
Read More...!