“Kalau Nuklir Hanya untuk Listrik…..”
SEMENTARA pro dan kontra PLTN terus mencuat, Batan sudah mulai menentukan lahan. Tiga tapak terpilih adalah Ujung Lemah Abang, dan Ujung Nggrenggengan serta Ujung Watu di Kecamatan Keling. Ketiganya berada di Jepara.
Namun bukan hanya pemilihan tapak itu yang membuat keterkejutan. Lihatlah hasil studi persepsi dan penjajakan, memperlihatkan masyarakat sekitar lokasi menyetujui rencana pembangunan pembangkit itu.
“Atas dasar apa penelitian terhadap persepsi?” ujar Hasan Aoni Aziz, aktivis Masyarakat Reksa Bumi (Marem), organisasi yang menentang pembangunan PLTN.
Mudjahirin Thohir dari Lembaga Penelitian (Lemlit) Undip mengatakan, pihaknya melakukan penelitian kualitatif atas permintaan Batan sejak 2002. Namun, mereka sama sekali tidak pernah membicarakan soal angka.
“Kami melihat dengan pendekatan budaya, apakah warga bersikap negatif atau positif, atau apakah mereka menolak atau tidak. Jawaban itu tergantung pada persepsi.
Mengapa umumnya masyarakat khawatir? Karena, kata ‘nuklir’ masih baru dan belum jadi kosakata umum. Jadi wajar kalau mereka takut. Justru ini tantangan buat Batan untuk berdialog,” ujar antropolog Undip tersebut.
Kekhawatiran warga, menurut mantan anggota Batan Dr Iwan Kurniawan, beralasan. Doktor nuklir yang menimba ilmu di Jepang itu mengatakan, karakter nuklir sangat mudah meledak. Karena itu, materi itu begitu berguna untuk membuat senjata nuklir.
“Kenapa Iran sangat dikhawatirkan. Sebab, ada potensi pemilik nuklir bisa mengembangkan senjata nuklir pada waktu ke depan. Keuntungan PLTN ya cuma dua itu, listrik dan senjata,” lanjut dia.
Iwan mengatakan, limbah nuklir sangat sulit disimpan dan umurnya bisa mencapai ribuan tahun. Untuk mengolah limbah, Indonesia harus mengirimnya ke negara maju yang biaya pengolahannya tentu saja jauh lebih mahal.
“Sebenarnya limbah bisa diperpendek, dengan akselerator plutonium bisa dihancurkan dan dikembangkan jadi bahan reaktor masa depan. Tapi, xenon dan krypton tetap akan jadi sampah. Untuk menghancurkan, butuh mini PLTN lagi, biaya juga lebih besar lagi. Kalau niat Batan hanya membangkitkan listrik, kan penghasil bahan bukan nuklir masih banyak,” ujar dia.
Salah Paham
Sependapat dengan Iwan, mantan anggota Batan lainnya dari Universitas Diponegoro Ir Djoko Murwono MT meyakinkan bahwa sejumlah bahan energi yang bisa dimanfaatkan. Menurutnya, perairan Indonesia amat kaya dengan plankton yang ke tengah diteliti sebagai tempat menyimpan data.
“Saya bukannya tidak setuju dengan Batan. Tapi, kalau nuklir hanya untuk listrik, saya akan bilang tidak setuju. Jangan salah paham,” tegasnya.
Baik Djoko maupun Prof Dr Liek Wilardjo dari Universitas Kristen Satyawacana (UKSW) mengatakan, reaktor penggabungan (fusi) jauh lebih aman daripada fissi (nuklir), yakni memadukan inti yang ringan menjadi berat.
Kepala Biro Kerja Sama, Hukum, dan Humas Batan Ferhat Aziz mengatakan, penolakan itu terjadi karena masyarakat tidak mengetahui. Menurutnya, PLTN yang saat ini diupayakan Batan adalah yang paling aman dengan anomali tidak berdampak dan probabilitas kebocoran yang kecil.
“Kami membuat sistem pertahanan berlapis lima. Yang boleh keluar dari cerobong cuma sepersepuluh. Sebenarnya, lingkungan kita kan juga sudah kena radiasinya. Radiasi matahari misalnya, besarnya 1 neutron, itu sudah termasuk nuklir. Ya memang nggak ada yang 100% tidak kena. Tapi kalau mau membandingkan, PLTN jauh lebih aman dari batu bara,” ujarnya.
Dijelaskan, sampah nuklir Batan hanya 27 ton per tahun, sementara batu bara 70.000 ton per tahun. Meski usia sampah nuklir 40 tahun, akan tetapi bentuknya padat, tidak bisa meleleh, tidak bisa terbakar, dan bisa disimpan di lokasi aman di reaktor.
“Tidak ada orang yang bisa memprediksi teknologi. Siapa tahu, besok bisa dibakar di tempat penyimpanan. AS sedang mencoba meneliti sekarang,” ujarnya. (Renjani PS-77) SUARA MERDEKA, Jumat, 22 Juni 2007.
http://www.suaramerdeka.com
Read More...!